Senin, 08 Oktober 2012

Indonesia Satu Untuk Semua

Jakarta, 29 September 1933. Gedung Permufakatan Nasional di Gang Kenari, Salemba, dipenuhi ribuan orang. Di malam itu, mereka akan mengikuti perdebatan antara A. Hassan (ulama tersohor, pendiri Persatuan Islam) dan Abu Bakar Ayub (tokoh Ahmadiyah Qadian). Topik debat: menguji keabsahan Ahmadiyah.Saya baca kisah tersebut di TEMPO edisi 21 September 1974. Sebagai pimpinan sidang, Mohamad Muhyidin membuka, “Saya mengucapkan terimakasih atas kedatangannya sekalian. Ternyatalah perdebatan ini dapat perhatian yang penting. Melainkan saya harap supaya tuan-tuan sekalian akan tinggal dengan iman, seperti kemaren. Sekarang akan diperingati lagi kepada tuan-tuan supaya janganlah mencela atau mengeluarkan perkataan atau isyarat-isyarat yang memihak ke salah satu partai yang sedang berdebat…Barang siapa tiada menurut akan aturan ini, saya akan ambil tindakan.”
Perdebatan seru berlangsung. Kedua pihak sekuat tenaga mempertahankan pendirian masing-masing. Tapi, tak ada gelas yang melayang, apalagi pedang yang dihunus. Damai. Kehidupan setelahnya berjalan seperti biasa.
Puluhan tahun kemudian, suasana sehat itu tak terlihat lagi. Irshad Manji datang jauh-jauh dari Kanada untuk mendiskusikan Allah, Liberty and Love. Buku itu baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Lalu, puluhan orang, Jumat (4/5) malam itu, berteriak-teriak di Salihara minta agar pertemuan dibubarkan. Alih-alih mencegah, polisi justru ikut mendesak agar diskusi ditutup.
Manji memang kontroversial. Buku terdahulunya, The Trouble with Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change, mengirim aneka kecaman terhadap praktik-praktik buruk menyangkut penguasa, tokoh, dan lembaga yang mengatasnamakan Islam. Ini juga yang membuat  kalangan neokonservatif di Amerika Serikat memberinya tepuk tangan. Kontroversi lain, perempuan Muslim ini terang-terangan mengaku seorang lesbian.
“Selamat datang di era kegelapan,” kata seorang teman di akun Twitter-nya. Saya setuju dengannya. Tentu boleh tak sepakat dengan Manji, tapi Anda harus menghormati haknya untuk bicara. Menghormati juga hak orang-orang yang memilih untuk menyimak Manji. “Saya tak setuju dengan pendapat Anda, tapi sampai mati akan saya bela hak Anda untuk mengutarakannya,” kata filsuf Prancis, Voltaire.
Dua hari kemudian, berita duka juga terdengar. Umat HKBP Filadelfia, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, dihalang-halangi saat hendak menggelar ibadah. Kasus ini punya sejarah cukup panjang. Pada 12 Januari 2010, Pemkab Bekasi menyegel rumah ibadah jemaat HKBP Filadelfia berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bekasi pada 31 Desember 2009.
Pada Maret 2010, jemaat HKBP Filadelfia mengajukan gugatan terhadap SK Bupati tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Bandung.  PTUN Bandung, pada 2 September 2010, mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan itu seluruhnya. Keputusan sama juga terbit, dalam proses banding, dari PT TUN DKI Jakarta pada 30 Maret 2011. In kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap) .
Sekali lagi, kita bisa bertikai pendapat. Pada titik tertentu, perbedaan itu boleh jadi harus diselesaikan di jalur hukum. Ketika putusan hukum terbit, tak ada kemungkinan lain: mesti dipatuhi. Penolakan atasnya cuma bermakna kesediaan untuk hidup dalam kekacauan, tanpa rujukan normatif bersama. Mengerikan!
Indonesia itu majemuk. Sejak awal, para pendiri bangsa telah menyadarinya. Maka, Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, mengatakan, “Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua.” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan…”
Saya merindukan situasi seperti di Gang Kenari itu. Tak ada satu golongan memaksakan kehendaknya atas kelompok lain. Ketika ada yang coba melanggar asas tersebut, negara dengan sigap dan tepat bertindak. Masalahnya, kita hidup dengan kepala pemerintahan yang hanya mahir berujar, “Saya prihatin…”

Penulis : Yus Ariyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar yang membangun sopan dan baik, serta perhatikan Etika Berkunjung Disini terimakasih :)